Perdagangan bebas menjadikan para pengacara banjir perkara. Namun, hal ini bisa merepotkan negara sebab tidak semua negara bisa menanggung biaya para pengacara yang tarifnya luar biasa mahal itu.
"Dalam beberapa estimasi
private law firms mengenakan charge sebesar USD 250 sampai USD 1000 per jam in fees dan apabila ditotal mencapai antara USD 100 ribu sampai USD 1 juta. Ini berlaku dimana pun," demikian kata Prof Dr Ade Maman Suherman kepada detikcom, Senin (1/4/2013).
Hal ini juga disampaikan dalam pidato pengukuhan guru besar Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto akhir pekan lalu dengan judul "Rezim Perdagangan Bebas dan Ketidakberdayaan Negara Berkembang Berlitigasi pada
Dispute Settlement Body-WTO".
Tarif di atas di luar tarif menemukan fakta hukum. Standar tarif tersebut adalah tarif minimal untuk kasus sederhana. Untuk kasus yang lebih kompleks dan rumit, tarifnya bisa berlipat ganda.
"Sebagai contoh harga untuk kasus yang kompleks seperti kasus Japan Photographic Film. Di mana
legal fees dikenakan untuk Kodak dan Fuji mencapai lebih dari USD 10 juta," lanjut guru besar termuda di Unsoed ini.
Biaya tersebut akan membengkak seperti ditambah non-legal expenses. Sebab di dunia pengacara dikenal adagium
first class law firms fly first class and stay at first class hotels.
Ade Maman menyontohkan kasus subsidi pupuk
Appellate Body yang dipegang pengacara private law firm di Washington pada 2007 silam. Dalam kasus itu, seorang ahli pertanian dibayar USD 250 ribu untuk bersaksi, legal fee USD 400 ribu, spesialisasi ahli untuk isu hukum berkisar USD 50 ribu sampai USD 100 ribu. Sedangkan untuk fee bidang analisis kerugian mencapai USD 500 ribu
"Hal ini masih tergantung pada kasus tentang pertanian sehingga tidak sekedar diperlukan pakar ekonomi tetapi diperlukan pakar ekonomi pertanian," cetus pria kelahiran 11 Juli 1967.
Nah, akibat membengkaknya biaya legal ini, maka negara pun menjadi kerepotan. Tidak hanya negara berkembang, negara maju pun merasakan dampak rumitnya menyelesaikan kasus hukum dalam perdagangan internasional.
Ade Maman lalu menyontohkan kasus di lembaga penyelesaian sengketa WTO antara Boeing vs Airbus. Kasus besar yang membelit kedua raksasa ekonomi dunia telah menguras biaya dan menuai risiko dari konsep yang mereka ciptakan sendiri.
"Dengan kata lain perdagangan bebas tidak saja menyulitkan negara berkembang tetapi telah memposisikan antara negara maju pada posisi saling menggugat dan memerlukan biaya yang tidak sedikit. EU meminta kepada WTO untuk menjatuhkan sanksi sebesar USD 12 milyar atas subsidi illegal terhadap perusahaan Boeing. Ini adalah permintaan sanksi terbesar dalam sejarah dan sengketa perdagangan terbesar," tegas pecinta tenis lapangan ini.
Alhasil, penyelesaian sengketa yang dibangun berdasarkan perdagangan bebas memberikan pembebanan baik secara sistem hukum maupun ekonomi yang memerlukan biaya mahal. Negara berkembang menghadapi berbagai kendala dalam upaya menegakkan hak-haknya secara hukum, maupun secara politik dan ekonomi.
"Sejumlah kendala seperti minimnya income per kapita negara berkembang, terbatasnya jumlah delegasi yang ditugaskan di Jenewa, terbatasnya staf profesional, organisasi birokrasi dalam negeri yang tidak efektif, belum fahamnya organisasi birokrasi di Jenewa, minimnya pengalaman menangani masalah-masalah di WTO dan minimnya keterlibatan proses litigasi pada forum lembaga penyelesaian sengketa WTO," ujar alumnus FH Unsoed angkatan 1990 ini.
Berdasarkan rumitnya masalah maka perlu meningkatkan daya saing bangsa agar mampu berkompetisi dan melakukan retaliasi secara efektif baik bagi kalangan pengusaha. Kedua peningkatan kemampuan dijajaran birokrasi,
lawyer maupun akademisi, khususnya meningkatkan daya hukum dalam rangka menghadapi gugatan atau mengajukan gugatan dalam forum lembaga penyelesaian sengketa WTO.
"Ketiga, bagi kalangan pendidikan tinggi hukum sudah saatnya mempersiapkan mahasiswa hukum dengan
outcome lulusan yang memiliki kemampuan dan kompetensi yang berdaya saing global, khususnya di bidang hukum perdagangan internasional," pungkas Ade Maman.
Follow On Twitter